I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Banyak dari
kelompok Crustacea yang belum tersentuh tangan manusia untuk dapat dikelola.
Kebanyakan dari Crustacea tersebut hidup di wilayah perairan laut. Namun ada
juga di perairan payau.
Crustacea
adalah filum Arthropoda yang sebagian besar hidup di laut dan bernapas
dengan insang. Tubuhnya terbagi dalam kepala (cephalo), dada (thorax),
dan perut (abdomen). Kepala dan dada bergabung membentuk kepala-dada (chepalothorax).
Kepalanya biasanya terdiri dari lima ruas yang tergabung menjadi satu.
Mereka mempunyai dua pasang antena, sepasang mandibel (mandible) atau
rahang dan dua pasang maksila (maxilla). Beberapa diantaranya digunakan
untuk berjalan. Ruas abdomen biasanya sempit dan lebih mudah bergerak
dari padakepala dan dada. Ruas-ruas tersebut mempunyai embelan yang ukurannya
sering mengecil (Nontji, 1993).
Namun
ada salah satu dari crustacea yang memiliki bentuk tubuh berbeda yaitu
Cirripedia atau lebih dikenal Teritip dan Bernacle.
1.2. Tujuan
Tujuan dari pembuatan karya tulis
ini agar jenis hewan yang dibahas lebih mendapat perhatian. Dengan membahasnya
secara mendalam maka akan muncul ide atau pengetahuan dengan memanfaatkan
spesies tersebut serta memunculkan peluang usaha untuk kedepannya.
II. METODE
Metode
pengumpulan data hanya bersifat dokumentasi. Pengumpulan data dilakukan dengan
pencarian terhadap berbagai aspek dari spesies tersebut mulai dari anatomi,
morfologi, taksonomi dan lain-lain. Dengan sumber yang beragam seperti jurnal,
makalah, buku, dan sebagainya diharapkan dapat memperluas pengetahuan terhadap
spesies tersebut.
III. ISI
Filum : Arthropoda
Sub Filum : Mandibulata
Kelas : Crustacea
Sub Kelas : Cirripedia
Ordo : Thoracica
Sub Ordo : Balanomorpha
Famili : Balanidae
Sub Famili : Balaninae
Genus : Balanus
Spesies : Balanus
spp. (Foster, 1978)
Pada umumnya cangkang dari teritip ini
adalah putih, kuning, merah, jingga, ungu dan bergaris dengan ukuran cangkang
1-6 cm atau lebih yang diukur dari dasar carina sampai rostrum (Ermaitis
1984).
Balanus psittacus di
pantai barat Amerika Selatan dapat mencapai diameter 8 cm dengan tinggi 2,3 cm
(Buchbaun 1951 dalam Barnes 1953). Teritip memiliki organ tambahan (appendages)
yang disebut juga dengan pasangan cirri yang berguna untuk menangkap
makanan. Setiap ujung dari pasangan cirri tersebut terdapat setae yang
berguna untuk menyaring makanan (Ermaitis 1984).
Nontji (1993) mengatakan bahwa di dalam
cangkang terdapat tubuh yang sederhana yang disertai dengan 6 umbai-umbai yang
berbulu-bulu. Jika terendam air umbai-umbai tersebut secara beraturan
dijulurkan mekar keluar dan ditarik kembali lewat pintu operculum.
Makanan
teritip berupa plankton hewan kecil yang masuk bersama aliran air kedalam
mulut. Aliran air terjadi oleh gerakan-gerakan kaki berbulu dan itulah fungsi
kaki tersebut, bukan hanya untuk berjalan ataupun berenang (Darsono 1979).
3.2. Anatomi
Teritip memiliki 6 tentakel yang digunakan untuk
menangkap makanan yang disebut dengan “cirri”. Enam tentakel tersebut
dilengkapi dengan bulu-bulu yang berfungsi untuk menarik air ke dalam cangkang,
sehingga mereka bisa makan.
Teritip mengeluarkan tentakel dan memperluas
bulu-bulunya ketika air laut pasang. Bulu-bulu tersebut tersegmentasi untuk
mengumpulkan plankton dari air. Setelah mendapatkan makanan, tentakel membentuk
seperti sendok dimana partikel-partikel makanan yang didapatkan diteruskan ke
mulut.
Tentakel kedua digunakan untuk menyaring kadar polusi
dan mendeteksi perubahan kondisi air, sehingga mereka bisa hidup meskipun
kondisi air tidak baik.
Gambar 1. Anatomi Teritip |
3.3. Distribusi
Teritip
dapat hidup di daerah estuaria dan marga ini hidup komensal dengan hewan lain
seperti ikan paus, kepiting dan ular laut. Teritip hidup menempel bersama
biota-biota lain seperti alga, hidrozoa, tunikata, cacing serta moluska. Balanus
tersebar luas di seluruh perairan yang disebabkan oleh cangkangnya yang
keras sehingga tahan terhadap perubahan lingkungan yang besar. Penyebaran Balanus
dipengaruhi oleh kuat arus dan gelombang (Darsono dan Hutomo 1983).
Hampir
semua benda-benda yang terendam dalam air laut misalnya batu, besi, dasar
perahu, lunas-lunas kapal, pipa saluran sistem pendingin pembangkit tenaga
listrik, saluran pendingin pabrik serta alat pengukur arus dan benda-benda
lainnya yang ditempatkan di dalam air sepanjang perairan pantai, muara dan
teluk yang beriklim sedang, subtropik dan tropik bisa merupakan substrat yang
baik bagi teritip (Romimohtarto, 1977).
3.4. Reproduksi
Teritip
seperti kebanyakan binatang penempel lainnya berkembang biak secara
hermaprodit, yaitu tidak membuahi telurnya sendiri tetapi menyemprotkan
spermanya kepada teritip lain yang terdekat. Teritip melakukan fertilisasi (pembuahan)
secara internal yang terjadi dalam rongga tubuh. Pembuahan dapat berlangsung
apabila sperma membuahi sel telur. Telur yang telah dibuahi dieramkan dalam
rongga tubuh sampai menjadi larva naupli. Larva naupli dicurahkan
ke laut sebulan setelah penetasan.
Costow dan Bookhout (1957) dalam
Ermaitis (1984) menyatakan stadium larva terdiri dari naupli, enam
stadium yakni naupli I-VI . Lama waktu untuk melewati stadium naupli berbeda-beda.
Naupli I membutuhkan waktu 15 menit sampai 4 jam. Naupli II
berkisar antara 1-2 hari, naupli III berkisar antara 1-4 hari, stadium
IV berkisar antara 1-2 hari, stadium V membutuhkan waktu 2-4 hari dan untuk
menyelesaikan stadium VI membutuhkan 2 sampai 3 minggu.
Larva
naupli berkembang menjadi larva cypris melalui pergantian kulit
yang terjadi satu sampai tiga kali dalam seminggu. Pada pergantian kulit
selanjutnya akan terbentuk larva cypris. Cypris kemudian melata dan
menetap menjadi teritip muda dan akhirnya membentuk cangkang yang keras.
Gambar 2. Fase Naupli
Gambar 3. Fase Cypris
Gambar 4. Daur Hidup Teritip
3.5. Pemanfaatan
Hewan teritip ini dikenal sebagai
parasit. Namun teritip dapat dibutuhkan sebagai acuan terhadap kualitas air di
sekitarnya karna teritip bersifat filter feeder. Selain itu belum ditemukan
cara pemanfaatan lain untuk teritip tersebut.
3.6.
Prospek Ekonomi
Dikarenakan pemanfaatan yang masih minim,
prospek ekonomi ke depan teritip ini belum jelas. Perlu studi lebih lanjut
untuk melihat potensi biota ini.
IV. PEMBAHASAN
Tritip non parasit dewasa
merupakan pengganggu bagi manusia karena mengganggu lunas kapal, pelampung dan
tiang-tiang dilaut. Larva cypris mulai menempel pada waktu kapal berada
diperairan pantai. Populasi tritip yang padat pada lunas kapal dapat mengurangi
kecepatan kapal sampai 30 %, yang berarti pemborosan bahan bakar dan waktu.
Beberapa upaya telah dilakukan serta banyak biaya yang dikeluarkan untuk
mencegah penempelan larva pada lunas kapal, tetapi hasilnya kurang memuaskan.
Berbeda dengan yang dewasa, melimpahnya larva nauplius dan cypris yang
berenang bebas sebagai meroplankton merupakan sumber makanan bagi hewan pemakan
plankton.
Parasit jenis Rhizocephala dapat merugikan peternakan
(usaha budidaya) udang dan kepiting. Predator
teritip sangat banyak, seperti: cacing, siput, bintang laut, dan ikan. Selain
itu, teririp tidak mampu bertahan hidup apabila ada limbah minyak. Mereka juga
saling bersaing mendapatkan habitat yang layak bagi dirinya.
Teritip mengandung protein yang tinggi sehingga ia bisa dijadikan sumber
makanan bagi ikan-ikan. Fosilnya juga dapat dijadikan sebagai tempat hidup
hewan-hewan kecil. Dengan itu teritip dapat dikelola sebagai pakan.
Namun dunia
sekarang lebih fokus kepada penanggulangan parasit ini terhadap kapal – kapal
yang dihinggapinya. Karna semakin banyak teritip yang hinggap dapat menimbulkan
kerugian terhadap kapal tersebut.
Gambar 5. Hubungan Antara
Tipe Kapal dan Jumlah Teritip(Maley 1947 dalam
Puspasari 1995)
Gambar 6. Hubungan
Penempelan Teritip Dengan Lama Waktu Di Pelabuhan Setelah Docking Kering
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5. 1. Kesimpulan
Teritip
yang hidup sebagai parasit memang lebih banyak menimbulkan kerugian, namun
karna sifatnya sebagai filter feeder dapat dimanfaatkan sebagai acuan kualitas
perairan tempat ia hidup.
5. 2. Saran
Karna
pemanfaatan yang masih kurang, sebaiknya studi-studi atau penilitian terhadap
teritip harus terus didorong agar teritip tidak hidup sebagai parasit di
kehidupan masyarakat sehari –hari.
DAFTAR PUSTAKA
Agustini
et al, 2008, Kebiasaan Makanan Balanus dan Hubungannya Dengan Kelimpahan
Plankton Di Suralaya, Banten. Jurnal. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Indonesia.
Barnes,
H and H. T. Powell. 1953. The Growth of Balanus balanoides (L) and Balanus
crenatus Brug. Under Varying Condition of Submertion. Journal of The Biology.
Association of The United Kingdom 32 (1-3) : 107 -127.
Darsono,
P. 1979. Catatan Tentang Sifat dan Daur Hidup Teritip (Barnacle). Pewarta
Oseana V (3) : 16 – 19.
Darsono,
P. dan Hutomo, M. 1983. Komunitas Biota Penempel di Perairan Suralaya, Selat
Malaka. Jurnal Oseanologi di Indonesia 16 : 29 – 41.
Ermaitis.
1984. Beberapa Catatan tentang Marga Teritip (Balanus spp). Pewarta Oseana IX
(3): 96-101 hal.
Foster, B.A. 1978. The Marine of
New Zealand Barnacle. New Zealand
Maley, O.H. 1947. Nature and
Extent of Fouling of Ships Bottom. United States Bureau of Fisheries Bull.
Nontji.2002.
Laut Nusantara. Jakarta : Djambatan.
Oceanographic
Institute Memoir 69, Wellington. 143 hal.
Puspasari,
I. A. 1995. Pengaruh Lama Berlayar dan Posisi Pada Lambung Kapal Terhadap
Kelimpahan Biota Penempel Pada Kapal Feri. Tesis Fakultas Perikanan Institut
Pertanian Bogor. 75 hal (tidak diterbitkan).
Romimohtarto, K. 1977. Beberapa
Catatan Tentang Teritip (Balanus spp) sebagai Binatang Pengotor di laut.
Oseanologi di Indonesia. 7: 25-42 hal.
Suwignyo,
Sugiarti. 1989. Avertebrata Air. Bogor. Lembaga Sumberdaya Informasi. IPB
Erghi, Muhammad. 2010. Crustacea. http://nemofishunhas.blogspot.com. Diakses
tanggal 3 April 2015.
Hermawan. 2010. Crustacea. http://e-dukasi.net. Diakses tanggal 5 April 2015
0 Komentar:
Posting Komentar